Setiap pagi, anak-anak di Korea terbangun oleh kicauan burung pipit. Burung-burung kecil ini membuat sarangnya di antara sulur-sulur tanaman yang tumbuh di atap dan sepanjang lis rumah. Saat musim semi tiba, orang-orang menanam biji melon, labu, dan mock orange di sisi rumah yang terkena sinar matahari. Selama musim panas hingga akhir musim gugur, dinding dan atap rumah mereka ditutupi dedaunan hijau yang lebat.
Di tempat yang nyaman inilah induk pipit bertelur, dan si jantan mencari cacing untuk memberi makan pasangannya. Ketika anak-anak pipit mulai menetas dan membuka paruh mungil mereka karena lapar, kedua induk pun sibuk merawat dan mengajari mereka terbang.
Namun, bahaya terbesar datang dari ular-ular jahat yang hidup di atap dan memangsa anak-anak pipit. Kadang-kadang, untuk melawan musuh itu, burung pipit memanggil burung-burung yang lebih besar yang tak takut pada ular. Burung-burung besar itu akan mematuki ular sampai ia lari. Setelah menang, terdengar kicauan riang penuh kegembiraan.
Suatu hari, seekor anak pipit yang baru belajar terbang hampir saja ditangkap ular. Untungnya, seekor burung besar yang pemberani menyerang si ular dan menyelamatkannya. Tapi dalam pelariannya, si pipit kecil terjebak di tirai bambu yang tergantung di beranda rumah. Kakinya terkilir dan ia tergeletak tak berdaya di antara belahan bambu.
Pemilik rumah itu adalah seorang pria baik hati yang menyayangi burung. Ia merasa kasihan melihat pipit kecil itu. Ia mengangkatnya dengan hati-hati, merapikan bulunya, dan menenangkannya meski jantungnya berdetak kencang. Ia mengatur kembali kakinya yang terkilir, membalutnya dengan tanah liat lembab, lalu menjaga agar burung itu tetap hangat dan memberi makan sampai si pipit pulih. Suatu hari, ia membawa burung itu ke luar dan membiarkannya terbang kembali ke langit.
Namun burung kecil itu kembali lagi. Ia hinggap di tepi atap dan berkicau seolah mengucapkan terima kasih. Lalu ia mengepakkan sayapnya terbang menuju kerajaan burung pipit, tempat tinggal Raja Pipit, dan menceritakan kepada sang raja tentang manusia baik yang telah menyelamatkannya dan selalu menolong burung-burung yang kesusahan.
Raja Negeri Burung Pipit mendengarkan kisah itu dengan penuh perhatian bersama para penasihat bijaknya. Mereka lalu mengadakan pertemuan dan memutuskan untuk memberi hadiah istimewa kepada manusia baik hati yang telah menolong teman mereka. Mereka pergi ke gudang harta karun kerajaan, tempat tersimpan benda-benda indah yang disukai manusia.
Dari sana, mereka memilih hadiah-hadiah terbaik—emas, giok, kain brokat, cangkir dan piring mewah, beras, kuda untuk ditunggangi, kerbau untuk mengangkut barang, pelayan perempuan cantik, serta pakaian dari sutra dan katun, juga makanan dan minuman yang lezat. Semua itu, dengan sihir istimewa, dikemas dalam sebuah biji kecil. Biji itu kemudian diberikan kepada si pipit untuk dibawa ke rumah manusia baik hati itu, dengan pesan penting: jangan sampai hilang, dan hanya diberikan kepada orang yang tepat.
Si pipit pun terbang keluar dari Negeri Pipit dan tiba di rumah sahabat manusianya. Ia meletakkan biji itu dengan hati-hati di dekat jendela kertas, lalu berkicau keras-keras sampai sang pria keluar rumah. Saat melihat burung kecil yang dikenalnya itu, pria itu mengulurkan tangan dan si pipit meletakkan biji itu di telapak tangannya, sambil terus berkicau seolah berkata, “Ini sangat berharga!”
Namun pria baik itu hanya tertawa. Ia masuk ke dalam dan menunjukkan biji itu kepada istrinya, menceritakan bagaimana ia mendapatkannya, lalu hampir saja membuangnya karena mengira itu hanya lelucon burung pipit.
Untunglah sang istri, yang bijaksana, meminta suaminya untuk menyimpannya. Pada hari yang hangat di musim semi, ia menanam biji itu. Tumbuhlah sebuah tanaman merambat yang lebat, menutupi seluruh sisi rumah dengan daun-daunnya.
Di antara buah yang tumbuh, ada satu labu besar dan indah yang hampir matang. Sang suami ingin memanennya, tetapi istrinya menyarankan agar menunggu hingga musim gugur tiba. Ketika waktu itu datang dan labu sudah matang sempurna setelah menyerap sinar matahari sepanjang musim panas, mereka pun membukanya dengan gergaji.
Dan—ajaib!—keluarlah harta karun dari dalam labu, jauh melebihi apa pun yang pernah mereka bayangkan.
Pertama-tama, sesuatu keluar dan terbentang di hadapan mereka—sebuah meja giok yang mewah, seperti yang dipakai kaisar saat makan. Lalu keluar botol perak berisi anggur yang harum, diikuti cangkir-cangkir kecil indah yang langsung menempatkan diri di atas meja giok itu. Menyusul kemudian kotak teh emas penuh dengan daun teh wangi.
Lalu muncul gulungan kain sutra, muslin halus, brokat mengkilap, dan pakaian mewah: topi, sepatu, ikat pinggang, kaus kaki—semuanya cukup untuk dipakai seumur hidup. Setelah itu, keluar pula beras dan makanan matang dari berbagai jenis, siap untuk pesta.
Ketika mereka menengok ke halaman, tampak kuda-kuda gagah dan kerbau gemuk yang siap membantu pekerjaan mereka. Dan yang paling mengejutkan, beberapa gadis muda yang cantik seperti rembulan keluar dari dalam labu. Mereka mulai menyajikan makanan lezat dan bertindak layaknya pelayan istana yang sudah terbiasa melayani para bangsawan.
Setelah pesta, para gadis itu menari, memainkan musik, dan memberikan hiburan yang tiada habisnya. Kini, pasangan suami istri itu hidup seperti raja dan ratu di rumah mereka yang dulu sederhana—yang kini berubah menjadi istana kecil penuh harta dan kebahagiaan.
Mereka tak lagi khawatir soal makan atau tempat tinggal. Hidup mereka penuh kemudahan dan kegembiraan. Mereka bisa bepergian ke mana saja mereka mau, dengan hati tenang dan tubuh yang dimanja oleh kenyamanan.
Namun, tak jauh dari sana tinggal seorang pria jahat yang terkenal membenci burung pipit. Ia sering mengusir mereka dari rumahnya karena menganggap burung-burung itu mengganggu. Saat mendengar kisah tetangganya yang mendadak kaya raya berkat seekor burung pipit, hatinya dipenuhi rasa iri.
Ia pun mencari akal agar bisa mendapatkan harta serupa. Suatu hari, ketika seekor pipit mendekat ke rumahnya, ia langsung melempar tongkat dan mematahkan kaki burung itu. Ia lalu membalut kakinya dengan tanah liat dan kain lusuh. Setelah burung itu sembuh—meskipun kakinya kini bengkok parah—ia melepaskannya.
Si pipit terbang ke Kerajaan Pipit dan menceritakan perlakuan buruk yang diterimanya. Raja Pipit pun mengirimkan biji ajaib yang serupa kepada orang jahat itu. Tapi biji ini bukan hadiah—melainkan balasan.
Begitu si pria jahat melihat pipit pincang membawa biji di paruhnya, ia buru-buru mengambilnya dan segera menanamnya. Ia nyaris tak sabar menanti labu tumbuh dan matang. Ajaibnya, tanaman itu tumbuh sangat subur, menutupi seluruh sisi rumahnya dan semua atap rumah-rumah di sekitarnya.
Ketika musim gugur tiba, ia mulai memanen labu-labu itu. Ia duduk di depan tumpukan buah besar, mengambil gergaji, dan mulai membukanya satu per satu—dengan harapan besar.
Tapi yang keluar bukan emas, bukan pakaian mewah, bukan pelayan cantik. Yang keluar justru… bencana.
Dari labu pertama, muncullah sekelompok penari tali. Mereka mengulurkan tangan, menuntut bayaran. Kalau tidak dibayar, mereka mengancam akan tinggal di rumahnya dan makan di meja makan setiap hari. Si pria jahat tak punya pilihan selain membayar mereka dengan seutas panjang uang koin.
Saat ia membuka labu kedua, keluar barisan biksu Buddha yang langsung mulai meminta sumbangan untuk kuil. Ia pun buru-buru menyogok mereka agar cepat pergi.
Labu ketiga lebih buruk lagi. Sekelompok pelayat muncul, menggotong peti mati, dan mulai menangis serta meraung-raung dengan suara menyayat. Lagi-lagi, ia harus mengeluarkan uang untuk mengusir mereka.
Sekarang ia mulai merasa miskin.
Tapi karena tamak, ia tetap melanjutkan. Dari labu keempat muncul para penari perempuan yang menolak pergi sebelum diberi lima ribu uang koin. Labu berikutnya mengeluarkan akrobat, yang langsung mulai beraksi. Tapi sebelum mereka selesai, si pria jahat cepat-cepat membayar mereka agar tak perlu menonton sampai selesai—dan membayar lebih mahal.
Labu demi labu terus dibuka. Namun setiap kali yang keluar hanyalah orang-orang aneh yang menyusahkan: pegawai pemerintah pemalas, peramal, pesulap, orang buta yang membawa tongkat dan lonceng minta sedekah.
Sampai akhirnya, dari salah satu labu keluar seorang raksasa yang mengancam akan memakan pria itu beserta istrinya.
Kini mereka benar-benar jatuh miskin. Semua uang habis. Tak ada sisa sedikit pun. Mereka kelaparan.
Dan ketika labu terakhir dibuka, yang keluar adalah… bau busuk dari seluruh penjuru Korea. Mereka menutup hidung dan berlari keluar rumah.
Untung mereka keluar tepat waktu. Angin kencang bertiup, rumah mereka roboh, dan atap serta kayu terbakar karena api dari tungku yang menyala.
Mereka kehilangan segalanya—dan semua itu terjadi karena kebencian dan kekejaman terhadap burung-burung kecil.
Akhirnya, mereka hidup dari belas kasihan tetangganya—pasangan tua yang dahulu menolong seekor burung pipit kecil dengan kasih sayang,