Pak Kim tinggal di kaki gunung. Ia dikenal sebagai orang malas. Padahal ia punya keluarga yang harus dinafkahi, tapi ia tak suka bekerja tetap. Ia lebih senang duduk-duduk sambil mengisap pipa panjangnya—sepanjang penggaris satu meter—dan berharap ada rezeki yang datang dengan sendirinya.
Suatu hari, istrinya marah besar. Ia sudah terlalu lelah menghidupi anak-anak yang selalu lapar, sementara piring-piring di rumah kosong melompong. Ia membentak Pak Kim dan menyuruhnya pergi mencari sesuatu untuk dimakan keluarga mereka. Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, empat anak kecil yang wajahnya jarang tersentuh air, dan seekor anak anjing. Anjing kecil itu punya kebiasaan unik: kalau ada bahaya, ia akan lari masuk rumah lewat lubang kecil di pintu, lalu menggonggong keras-keras dari dalam.
Akhirnya, Pak Kim pun pergi ke gunung. Ia berharap bisa menemukan sesuatu yang berguna—akar ginseng, bongkahan emas, atau batu mulia. Kalau pun tidak, buah-buahan liar seperti anggur hutan atau pir pun tak apa. Sementara itu di rumah, istrinya menumbuk sisa-sisa biji-bijian di dapur untuk makan anak-anak.
Pak Kim berjalan lama di antara bebatuan tanpa menemukan apa pun yang layak dibawa pulang. Saat hari hampir tengah, ia sampai di sebuah tempat di mana berdiri sebuah patung raksasa Buddha dari batu, yang diukir langsung dari gunung. Patung itu sangat besar dan menjulang tinggi. Bertahun-tahun lalu, pada masa kejayaan agama Buddha, ketika biara-biara berdiri di mana-mana dan para biksu melantunkan doa dalam bahasa Sanskerta, sekelompok orang yang taat beribadah menghabiskan berbulan-bulan memahat patung raksasa itu. Hidungnya menonjol sepanjang satu meter, mulutnya selebar satu meter dua puluh, dan di atas kepalanya ada topi datar dari batu granit—seperti topi kelulusan—yang bisa menampung sepuluh orang berdiri tanpa saling berdesakan.
Tapi masa kejayaan itu sudah lama berlalu. Biara telah runtuh menjadi puing. Hutan lebat tumbuh mengelilingi patung itu hingga hampir seluruhnya tertutup pepohonan. Di bagian depan, tanaman anggur liar melilit patung sampai hampir ke leher.
Namun dari celah di kepala patung tumbuhlah pohon pir—kemungkinan besar berasal dari biji yang dijatuhkan burung leluhur salah satu burung yang kini berkicau di sekitarnya. Dan di ujung cabang terluarnya, menggantung satu buah pir matang yang ranum, sebesar kepala manusia. Betapa beruntungnya Pak Kim! Ia membayangkan, kalau dipotong-potong, buah itu bisa jadi pencuci mulut sekeluarga. Ia pun bersyukur dalam hati.
Tanpa pikir panjang, Pak Kim mulai memanjat. Ia mencengkeram semak dan sulur anggur liar yang tumbuh melilit patung itu, dan dengan susah payah ia berhasil sampai di dagu sang Buddha batu. Di atasnya, hidung besar patung itu mencuat seperti batu runcing; lubang hidungnya menganga seperti gua kecil. Ia berdiri dengan satu kaki di bibir batu, berpegangan pada ujung hidung, mencoba naik lebih tinggi—tapi sia-sia. Hidungnya licin dan telinga patung itu terlalu halus untuk dipanjat.
Buah pir ranum itu menggantung tinggi, bergoyang perlahan ditiup angin, seolah berkata, “Kalau bisa, ambillah aku.” Pak Kim mulai frustrasi. Ia sudah sangat dekat, tapi tak bisa menjangkau lebih tinggi.
Tiba-tiba muncul ide yang agak gila. “Bagaimana kalau aku masuk saja ke lubang hidung patung ini? Siapa tahu ada jalan ke atas,” pikirnya. Maka ia pun mulai merangkak masuk ke lubang hidung sebelah kanan. Perlahan-lahan, seperti serangga kecil, ia merayap ke dalam. Semakin jauh, tubuhnya lenyap dalam kegelapan di dalam hidung batu.
Apakah ini tidak berbahaya? Bukankah ini seperti menggelitik hidung raksasa batu itu?
Tapi Pak Kim tak peduli. Ia terlalu bertekad untuk mendapatkan buah pir itu, apa pun risikonya.
Tiba-tiba terdengar suara dahsyat mengguncang gunung. “Haaaah-syuuuuh!”
Apakah itu gempa bumi? Petir? Angin ribut?
Ternyata bukan. Patung raksasa itu... bersin! Ya, saking kuatnya dorongan dari lubang hidung, Pak Kim terlontar ke udara. Ia melayang tak berdaya dan akhirnya jatuh menimpa semak-semak. Dunia seolah gelap. Ia pingsan seketika. Saat itu kira-kira pukul satu siang.
Ia tergeletak tak sadar hingga matahari hampir tenggelam. Saat akhirnya sadar, ia masih bingung. Tapi pelan-pelan ingatannya kembali. Ia menatap ke atas dan melihat hidung batu itu menjulang tinggi di langit, seperti mengejek.
Namun ternyata bersin raksasa itu tidak sia-sia.
Saking kerasnya patung itu bersin dan menggelengkan kepala, buah pir matang yang menggoda tadi terlepas dari ranting dan jatuh ke bawah. Dan... tergeletak di samping tubuh Pak Kim! Ia menemukannya seperti hadiah dari langit. Dengan gembira ia mengambil buah itu dan pulang.
Begitu sampai di rumah, anjing kecil yang selalu berjaga mengintip dari lubang pintu dan menggonggong riang. Anak-anak berlari menyambut. Malam itu, mereka menikmati santapan manis—buah pir besar yang dipotong menjadi irisan—sementara Pak Kim menceritakan petualangannya. Tawa dan rasa syukur memenuhi rumah kecil mereka.