Jejak Mawar di Lantai

Jejak Mawar di Lantai

Arka memandangi layar laptopnya dengan lelah. Sejak dipindahkan ke kantor cabang ini, ia sering lembur hingga larut malam. Tidak ada pilihan lain—target tim harus tercapai. Setiap malam, ia sendirian di kantor tua ini. Bangunan bergaya kolonial ini memang nyaman di siang hari, tetapi di malam hari, suasananya berubah dingin dan mencekam.

Malam itu, sesuatu yang tak asing menunggunya di lorong. Jejak kaki berdarah. Lagi.

Arka menatap jejak itu dengan dahi berkerut. Sama seperti malam-malam sebelumnya, jejak itu muncul entah dari mana, membentang dari pintu masuk hingga ke lorong menuju ruang arsip lama. Ia sudah mencoba mengabaikannya sebelumnya, tetapi kali ini ada sesuatu yang lain. Aroma mawar samar tercium di udara.

Ia menarik napas panjang. "Hanya kebetulan," gumamnya, mencoba menenangkan diri. Tapi langkahnya, entah kenapa, mengikuti jejak itu.

Lorong itu terasa lebih dingin dari biasanya. Pegangan pintu ruang arsip dingin seperti es. Dengan ragu, ia membukanya. Ruangan itu gelap, kecuali cahaya bulan yang masuk melalui jendela kecil di sudut. Di tengah ruangan, sebuah meja kecil berdiri, dengan vas kaca berisi mawar merah segar.

“Ini pasti lelucon...” pikirnya, meski hatinya menolak percaya.

Ketika ia mendekat, suara lembut menghentikannya. “Kau datang juga, Arka.”

Ia membeku. Wanita itu berdiri di sudut ruangan, bergaun putih panjang, rambutnya menjuntai hingga pinggang. Wajahnya cantik, tetapi memancarkan kesedihan mendalam. Ia memegang sebuah cincin kecil di tangannya.

Arka menggelengkan kepala. “Siapa kau? Bagaimana kau tahu namaku?”

Wanita itu tersenyum tipis. “Aku Amara. Aku cinta yang kau tinggalkan.”

Arka tertawa gugup. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Aku bahkan tidak mengenalmu.”

“Tidak ingat, ya?” Amara melangkah mendekat, menunjukkan cincin itu. “Kau memberiku ini. Kau bilang aku harus menunggu di sini, dan aku melakukannya. Tapi kau tidak pernah kembali.”

Arka menatap cincin itu, perasaan aneh merambati tubuhnya. Sebuah ingatan samar melintas—seorang wanita dengan bunga mawar di tangannya, tawa ringan mereka di taman kecil, dan janji yang ia buat sebelum pergi bekerja di luar kota.

“Amara...” bisiknya. “Itu... tidak mungkin. Aku... aku tidak ingat.”

Amara tersenyum getir. “Tapi aku ingat, Arka. Ingat semuanya. Dan aku akan terus menunggu, meski kau lupa.”

Lantai di sekitarnya mulai bersinar, jejak berdarah itu membentuk lingkaran yang sempurna. Simbol-simbol berbentuk mawar perlahan muncul, bercahaya merah. Suasana ruangan berubah dingin, udara menjadi berat.

“Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi,” bisik Amara. “Kau harus menepati janjimu... atau bergabung denganku di sini.”

Arka mencoba bergerak, tetapi tubuhnya seolah terkunci. Ruangan itu berputar, simbol-simbol di lantai semakin terang. Bau mawar memenuhi udara, bercampur dengan aroma darah yang kental.

Semua menjadi gelap.

Keesokan harinya, di meja kerja Arka, ada sebuah vas mawar merah segar. Di dalamnya, sebuah cincin kecil dengan ukiran nama Arka & Amara.

Jejak Mawar di Lantai
Watch the video

Arka memandangi layar laptopnya dengan lelah. Sejak dipindahkan ke kantor cabang ini, ia sering lembur hingga larut malam. Tidak ada pilihan lain—target tim harus tercapai. Setiap malam, ia sendirian di kantor tua ini. Bangunan bergaya kolonial ini memang nyaman di siang hari, tetapi di malam hari, suasananya berubah dingin dan mencekam.

Malam itu, sesuatu yang tak asing menunggunya di lorong. Jejak kaki berdarah. Lagi.

Arka menatap jejak itu dengan dahi berkerut. Sama seperti malam-malam sebelumnya, jejak itu muncul entah dari mana, membentang dari pintu masuk hingga ke lorong menuju ruang arsip lama. Ia sudah mencoba mengabaikannya sebelumnya, tetapi kali ini ada sesuatu yang lain. Aroma mawar samar tercium di udara.

Ia menarik napas panjang. "Hanya kebetulan," gumamnya, mencoba menenangkan diri. Tapi langkahnya, entah kenapa, mengikuti jejak itu.

Lorong itu terasa lebih dingin dari biasanya. Pegangan pintu ruang arsip dingin seperti es. Dengan ragu, ia membukanya. Ruangan itu gelap, kecuali cahaya bulan yang masuk melalui jendela kecil di sudut. Di tengah ruangan, sebuah meja kecil berdiri, dengan vas kaca berisi mawar merah segar.

“Ini pasti lelucon...” pikirnya, meski hatinya menolak percaya.

Ketika ia mendekat, suara lembut menghentikannya. “Kau datang juga, Arka.”

Ia membeku. Wanita itu berdiri di sudut ruangan, bergaun putih panjang, rambutnya menjuntai hingga pinggang. Wajahnya cantik, tetapi memancarkan kesedihan mendalam. Ia memegang sebuah cincin kecil di tangannya.

Arka menggelengkan kepala. “Siapa kau? Bagaimana kau tahu namaku?”

Wanita itu tersenyum tipis. “Aku Amara. Aku cinta yang kau tinggalkan.”

Arka tertawa gugup. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Aku bahkan tidak mengenalmu.”

“Tidak ingat, ya?” Amara melangkah mendekat, menunjukkan cincin itu. “Kau memberiku ini. Kau bilang aku harus menunggu di sini, dan aku melakukannya. Tapi kau tidak pernah kembali.”

Arka menatap cincin itu, perasaan aneh merambati tubuhnya. Sebuah ingatan samar melintas—seorang wanita dengan bunga mawar di tangannya, tawa ringan mereka di taman kecil, dan janji yang ia buat sebelum pergi bekerja di luar kota.

“Amara...” bisiknya. “Itu... tidak mungkin. Aku... aku tidak ingat.”

Amara tersenyum getir. “Tapi aku ingat, Arka. Ingat semuanya. Dan aku akan terus menunggu, meski kau lupa.”

Lantai di sekitarnya mulai bersinar, jejak berdarah itu membentuk lingkaran yang sempurna. Simbol-simbol berbentuk mawar perlahan muncul, bercahaya merah. Suasana ruangan berubah dingin, udara menjadi berat.

“Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi,” bisik Amara. “Kau harus menepati janjimu... atau bergabung denganku di sini.”

Arka mencoba bergerak, tetapi tubuhnya seolah terkunci. Ruangan itu berputar, simbol-simbol di lantai semakin terang. Bau mawar memenuhi udara, bercampur dengan aroma darah yang kental.

Semua menjadi gelap.

Keesokan harinya, di meja kerja Arka, ada sebuah vas mawar merah segar. Di dalamnya, sebuah cincin kecil dengan ukiran nama Arka & Amara.

Sematacerita menyediakan kisah-kisah nyata, cerita fiksi terjemahan dan orisinal.